Pentingnya Merancang Transformasi Ekonomi Untuk Ketahanan Pangan di Masa Depan



Jakarta, Radar-Barru.com -- Dalam rangka mendukung implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) 12.3, Jejaring Pasca Panen untuk Gizi Indonesia (JP2GI) kali ini menggelar Focus Group Discussion (FDG) dengan tema "Peta Jalan Reduksi Susut dan Sisa Pangan", yang membahas pengurangan   susut   dan   sisa   pangan   (SSP)   sebesar   50%   pada    tahun    2030, Senin (2/10/2023).

Focus Group Discussion merupakan salah satu upaya kolaboratif antara pemerintah, Industri dan masyarakat untuk merumuskan peta jalan yang konstruktif dan aplikatif untuk menurunkan susut dan sisa pangan sebesar 75% pada tahun 2045.

"FGD kali ini disepakati untuk fokus pada aspek susut pangan yang terjadi di sisi hulu rantai pasok pangan yaitu tahap produksi, tahap pascapanen dan penyimpanan, dan terakhir tahap pemrosesan dan pengemasan dan terakhir tahap distribusi”, terang Ketua Jejaring Pasca Panen untuk Gizi Indonesia (JP2GI), Soen’an Hadi Poernomo.

Dikatakan Soen’an, susut pangan (Food Loss) merupakan makanan yang mengalami penurunan kualitas ataupun hilang yang disebabkan oleh berbagai faktor selama prosesnya dalam rantai pasokan makanan sebelum menjadi produk akhir.

"Susut pangan biasanya terjadi pada tahap produksi, pasca panen, pemrosesan, hingga distribusi dalam rantai pasokan makanan, kemudian kalau sisa pangan (food waste) adalah makanan yang telah melewati rantai pasokan makanan hingga menjadi produk akhir, berkualitas baik, dan layak dikonsumsi, tetapi tetap tidak dikonsumsi dan dibuang", jelas Soen’an.

Sementara itu, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Kementerian PPN/Bappenas RI Vivi Yulaswati juga menyampaikan, bahwa susut pangan yang terjadi itu sangat terkait dengan transformasi ekonomi dan juga membangun ketahanan sosial budaya dan ekologi, yang didalamnya ada beberapa agenda nasional salah satu nya adalah Penerapan ekonomi hijau.

"Tentunya dengan berbagai upaya menumbuhkan ekonomi Indonesia kedepannya, perlu dibarengi dan dibuktikan dengan upaya kita dengan mengurangi emisi. Dengan kita mengurangi susut dan limbah pangan ini, kita bisa tumbuh tinggi dan bersih melalui hilirisasi sumber daya alam yaitu pertanian, perikanan dan kehutanan", tutur Vivi Yulaswati.

Menurutnya dengan dilakukan penerapan ekonomi hijau, berarti emisi pun akan berkurang. Ia juga menekankan pentingnya dalam konteks ketahanan sosial, budaya dan ekologi untuk membangun Resiliensi demi menjaga lingkungan global.

"Oleh sebab itu, Ketahanan sosial budaya dan ekologi akan berpijak pada kondisi masyarakat yang memiliki keragaman geografis di seluruh wilayah Indonesia", kata Vivi.

Sebagai informasi, data The Economist (2021), Indonesia menempati posisi ketujuh sebagai negara penghasil SSP terbesar di dunia. Hasil kajian Bappenas 2021 menyebutkan bahwa nilai susut pangan (food loss) selama 20 tahun terakhir (2010-2019) sebesar 56%, sedangkan nilai sisa pangan (food waste) sebesar 44%. 

Masih dari hasil kajian yang sama, total timbulan susut dan sisa pangan Indonesia per tahun sebesar 23-48 juta ton atau setara dengan 115-184 kg/kapita/tahun. (Gbr)


0/Post a Comment/Comments

Stay Conneted

Domain